Kerajaan Majapahit Membangun Kapal Raksasa (Kapal Jung Jawa) Simbol Kejayaan Maritim Nusantara


Kemaharajaan Majapahit 
(Majapahit Empire)

Peninggalan Kerajaan Majapahit/narasiinspirasi.com

Oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Tanah Basah, 13 Desember 2020) 

Daftar Isi 
  1. Kemaharajaan Majapahit
  2. Kejayaan Maritim Nusantara
  3. Kapal Jung Jawa
  4. Kapal Jung China
  5. Hilangnya Kapal Jung
  6. Kesimpulan
Majapahit Empire, begitulah sejarawan luar negeri dan dalam negeri mengidentifikasi kerajaan Majapahit. Kemaharajaan besar berpusat di Jawa Timur yang memiliki wilayah kekuasan meliputi hampir seluruh wilayah Nusantara. Penyebutan Majapahit sebagai kingdom atau kerajaan dirasa kurang tepat, lebih tepatnya adalah empire atau kemaharajaan.

Majapahit menerapkan sistem negara bawahan atau vassal pada kerajaan-kerajaan yang saat itu berada di bawah pengaruh kekuasaanya. Sebagai negara vassal, wilayah kerajaan-kerajaan yang berada dibawah pengaruh kekuasaan Majapahit wajib diberikan perlindungan dan membayar upeti. 

Majapahit menjadi imperium adidaya pada abad ke-13. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1991), menyebut Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu negara terbesar dalam sejarah Indonesia (hlm. 19).

Ilustrasi Raden Wijaya Raja Majapahit I
  
Raden Wijaya adalah pendiri Kerajaan Majapahit yang bertakhta pada 1293-1309 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Majapahit awalnya berpusat di Mojokerto, Jawa Timur. Pada era Jayanegara (1309-1328), ibukota dipindahkan ke Trowulan. Sejak Girindrawardhana (1456-1466) berkuasa, pusat Majapahit bergeser lagi, kali ini ke Kediri.

Majapahit mencapai masa jaya pada era Raja Hayam Wuruk atau Rajasanagara (1350-1389) berkat dukungan Mahapatih Gajah Mada. Tahun 1336, saat pengangkatannya menjadi mahapatih pada era Tribhuwana Tunggadewi (ibunda Hayam Wuruk), Gajah Mada mengucapkan Sumpah Amukti Palapa yang kelak melegenda.
Gajah Mada bersumpah akan menyatukan wilayah-wilayah Nusantara di bawah naungan Majapahit. Kelak, ikrar ini terwujud. Dikutip dari buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005) karya Slamet Muljana, Sumpah Amukti Palapa telah mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Ilustrasi Mahapatih Gajah Mada

Wilayah kekuasaan Majapahit, tercatat dalam Nagarakertagama, meliputi Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur, termasuk Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga sebagian Maluku. Masih menurut Negarakertagama seperti dikutip dari buku Dinamika Islam Filipina, Burma, dan Thailand karya Choirul Fuad Yusuf (2013), tidak kurang dari 98 kerajaan yang bernaung di bawah kuasa Majapahit. Pengaruh dan ekspansi Majapahit sampai pula ke negeri-negeri seberang, dari Semenanjung Malaya (Malaysia dan Brunei), Tumasik (Singapura), serta sebagian Thailand dan Filipina. 
Angkatan Laut Majapahit waktu itu sangat kuat sehingga disebut sebagai Talasokrasi atau Kemaharajaan Bahari. Gajah Mada sebagai Maha Patih mengangkat Mpu Nala sebagai Rakryan Tumenggung, yakni sebutan bagi orang yang menjadi salah satu di antara tujuh pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit. Mpu Nala menjadi pemimpin dan penanggung jawab armada laut Majapahit. Beliau juga yang berperan penting dalam ketangguhan armada laut Majapahit, turut membesarkan angkatan laut Majapahit hingga berhasil dalam berbagai ekspedisi sehingga armada laut Majapahit sangat disegani. 
"Dahulu adalah seorang anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang dan sepuluh depa lebar. Bisa mengangkut sampai delapan ratus orang prajurit dan dua ratus tawanan. Kapal-kapal besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini." (Pramoedya dalam Arus Balik, 1995 hal - 852).


Kerajaan Majapahit juga mempelopori pembuatan dan penggunaan senjata berbasis bubuk mesiu secara massal sehingga menjadi bagian umum dari peperangan. Stamford Raffles menulis dalam bukunya The History of Java bahwa pada tahun 1247 saka (1325 M), meriam telah banyak digunakan di Jawa terutama oleh Majapahit.

Tercatat bahwa kerajaan-kerajaan kecil di Jawa yang meminta perlindungan pada Majapahit harus menyerahkan meriam mereka kepada Majapahit. Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada (bertugas tahun 1329-1364) memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut. Salah satu catatan paling awal tentang adanya meriam dan penembak artileri di Jawa adalah dari tahun 1346. Penggunaan meriam umum digunakan oleh armada laut dan dipasang pada kapal-kapal angkatan laut Majapahit. 

Meriam Cet Bang Majapahit Berlogo Surya Majapahit

Panglima angkatan laut Majapahit yang terkenal menggunakan meriam cetbang pada armada Majapahit adalah Mpu Nala. Kesohoran Mpu Nala pada masa Majapahit diketahui melalui Prasasti Sekar, Prasasti Manah I Manuk (Bendosari), Prasasti Batur, Prasasti Tribhuwana dan Kakawin Negarakretagama. 

Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan, Kerajaan Majapahit menggunakan kapal "jung" secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar "jung" Majapahit mencapai 400 kapal, disertai jenis Malangbang dan Kelulus yang tak terhitung banyaknya.
Puncak kejayaan Majapahit terukir pada 1450-an. Bayangkan, ketika itu wilayah kekuasaan Jawa mencakup luas mulai dari jalur pelayaran Nusantara, Indocina, China selatan, dan perairan India. Kejayaan tersebut tak terlepas dari penguasaan teknologi kapal laut yang memang saat itu menjadi satu-satunya transportasi antar laut yang menghubungkan daerah-daerah kekuasaannya. Kapal Jong Majapahit sangatlah disegani.

Menurut Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya Majapahit Peradaban Maritim (2011), jumlah armada Jong Majapahit ketika itu mencapai 400 kapal. Bandingkan dengan armada kapal yang dimiliki VOC (Belanda), EIC, Spanyol, dan Portugis pada tahun sesudahnya (1674). Kalau kekuatan itu digabung, mereka negara-negara yang menguasai India, Nusantara, Indocina, dan China hanya memiliki 124 kapal.

Kedigdayaan Jawa dan Nusantara ketika itu benar-benar tak ada yang mampu menandinginya. Dengan armada laut yang kuat dan gagah perkasa itulah, para pendahulu kita mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan, mengontrol jalur perdagangan (rempah-rempah, komoditas pangan, komoditas berharga dll.) dan mengontrol jalur pelayaran yang menjadi sumber perekonomian Nusantara. Tak berlebihan kalau tempo dulu (abad ke-12) Jawa sangat masyhur di dunia.

Bahkan seorang ekonom Cina pernah menulis, dari semua kerajaan asing yang kaya raya (memiliki cadangan devisa berlimpah ruah), kehebatan bangsa She-p’o (Jawa) berada di urutan kedua setelah bangsa Ta-shih (Arab). Urutan ketiga ditempati San-fo-Chi (Sriwijaya). Marco Polo mengungkapkan, jumlah emas yang dikumpulkan Majapahit lebih banyak daripada yang dihitung dan hampir tidak dapat dipercaya. Jawa menjadi pemegang rekor sebagai kerajaan yang paling banyak memiliki cadangan logam mulia tersebut.
Uniknya lagi, cadangan tersebut bukan berasal dari perut bumi di tanah Jawa. Emas-emas itu dikumpulkan melalui aktivitas pengendalian pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Saking kaya raya dan kuatnya kerajaan Jawa, membuat bangsa Mongol (Kubilai Khan) pernah menargetkan penyerangan besar-besaran di wilayah Jawa yang berada di Samudra Selatan (Samudra Hindia) untuk menaklukkan kerajaan Jawa (Singhasari) yang saat itu juga mengontrol jalur pelayaran. Singhasari menolak tunduk dan menolak membayar upeti kepada bangsa Mongol. Mongol pun tak pernah berhasil mewujudkan impiannya.

Berdasarkan catatan sejarah dari China dan Portugis, Jawa atau Nusantara melakukan berbagai pelayaran menyeberangi Samudra Hindia dengan kapal besar ke Madagaskar pada abad ke-3 hingga ke-17. Tentu saja membutuhkan teknologi pelayaran dan navigasi yang maju sehingga bisa menyeberangi samudera yang luas. Teknologi kapal laut di Nusantara khususnya Jawa saat itu sudah bisa dibilang maju. Kapal berbobot lebih dari 500 ton itu tentu saja termasuk kapal tercanggih di zamannya. Luar biasanya di jaman itu kapal layar berukuran panjang sekitar 70 meter itu mampu membawa penumpang sebanyak 600 orang.

Kapal Jung Jawa telah mengarungi samudera hingga ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan, dan Madagaskar. Penduduk asli Madagaskar awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. Mereka pun mengaku keturunan Jawa. “Orang Jawa sangat berpengalaman dalam seni navigasi. Mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini. Walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang China lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa.” Demikian tulis Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit 1645. 

Bahkan, pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. “Mereka mengaku keturunan Jawa,” kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.

Kejayaan Maritim Nusantara

Relief Kapal Jung di Candi Borobudur/narasiinspirasi.com

Nenek moyang orang Nusantara adalah seorang pelaut bukanlah sekedar omong kosong. Berdasarkan relief kapal bercadik di Candi Borobudur menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah menguasai teknik pembuatan kapal dan pelayaran selama ribuan tahun, bahkan sebelum abad ke 8. Catatan paling tua tentang kapal raksasa Asia Tenggara ada dalam catatan Ptolemy, ditulis pada sekitar tahun 100 Masehi. Catatan itu adalah Periplus Marae Erythraensis (catatan laut bagian terluar). Nama kapal raksasa itu adalah "kolandiophonta', yang bisa jadi merupakan adaptasi dari terjemahan Tiongkok "kun lun po" Kapal Besar dari Laut Selatan.


Abad ke-3 menurut Wan Chen dalam "Strange Things of the South", ada kapal yang disebut-sebut sebagai simbol kejayaan bahari nusantara, yaitu Kapal Jung Jawa. Dalam buku itu digambarkan bahwa kapal itu mampu membawa 700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 kargo (sekitar 250-1000 ton). Kapal ini bukan berasal dari Tiongkok, tetapi dari Kun-lun (Nusantara), yang besar lebih dari 50 meter panjangnya. Tingginya di atas air 4 hingga 7 meter.
Sebuah kamus yang disusun oleh Huei-Lin bertahun 817 menyebutkan bahwa "... kapal laut besar disebut dengan "po". Menurut Kuang Ya, "po" berarti kapal pengarung samudera. Ia memiliki kedalaman 60 kaki (18 meter). Kapal ini cepat dan membawa 1.000 orang beserta barang dagangannya." Tahun 1322 Odoric Pordenone yang berlayar ke Asia Tenggara menyebutkan bahwa "zunc" membawa sekitar 700 orang baik pelaut maupun pedagang.

Wujud kapal ini sangat besar bagaikan "gargantua" untuk menggambarkan sebuah kapal raksasa yang pernah menjadi penguasa pelayaran samudera di awal penanggalan Masehi. Orang Jawa menyebutnya sebagai "jung", orang Melayu mengenalnya sebagai "jong" orang Portugis menulisnya sebagai "junco", sedangkan orang Arab menyebutnya sebagai "j-n-k" yang diucapkan mirip cara orang Iberia atau Portugis mengucapkannya.

Denys Lombard adalah sejarawan yang sangat hati-hati dalam menyebutkan sebuah istilah yang berasal dari masa lampau. Dalam buku Nusajawa: Jaringan Asia (2004), ketika menyebut tentang "jung" dari Asia Tenggara, Lombard menyebutnya sebagai kapal-kapal raksasa yang banyak dicatat oleh penjelajah Eropa berlayar di perairan "kun-lun" atau Laut Selatan. Istilah itu adalah istilah yang disukai oleh pencatat sejarah Tiongkok tentang perairan di sebelah selatan Tiongkok daratan yang membentang hingga pulau rempah (Nusantara).


Catatan Tome Pires, penjelajah Portugis abad 16, menyebut nama Pati Unus sebagai panglima yang memimpin armada pasukan laut dari sebuah kapal raksasa yang disebut sebagai "jung". Kapal itu begitu besar sehingga bisa menampung sekitar seribu penumpang. Banyak ahli yang menduga kata "jung" berasal dari perbendaharaan bahasa Tiongkok. Tapi peneliti sejarah, seperti Paul Pelliot, Waruno Mahdi, hingga Manguin, meyakini kata ini lebih tua dari riwayat pelayaran Samudera Cina yang bermula pada masa Dinasti Sung atau sekitar abad ke-10 masehi.


Jung adalah sebuah kapal raksasa dari zaman kuno yang nyaris hilang dari perbendaharaan sejarah. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Arus Balik menyebutnya sebagai "kapal-kapal Majapahit" untuk membedakan dengan "jung" yang dia ceritakan sebagai kapal-kapal yang membawa para pedagang Tiongkok. Ukuran kapal Majapahit yang sangat besar dia lukiskan sebagai berikut,

Kapal-kapal itu biasanya dilengkapi dengan empat layar yang terbuat dari tanaman rotan yang dianyam. Ketika angin berembus, layar-layar itu mudah digerakkan sesuai arah angin. Dengan demikian, laju kapal dapat bergerak lincah sesuai tujuan. Sekali lagi, Jawa Nusantara telah menunjukkan penguasaan teknologi maritimnya. Coba bandingkan dengan kapal-kapal perintis yang dibuat bangsa Eropa waktu itu.

Ibnu Batutah dalam catatan perjalanannya dari India menuju China bahkan menumpang kapal Jung, ia menyebut kapal Jung Jawa dapat mengangkut 1000 orang. Ia sangat mengagumi teknik arsitektur dan teknik pembuatan kapal Jung Jawa. "When the little fleet reached Calicut, there were 13 junks anchored in the harbor, into which their cargo was transferred for the voyage to China. Their construction fascinated Ibn Battuta, who was especially struck by the self-contained compartments into which the hull was divided to minimize the danger of sinking. The junks had large cabins in which a number of people could travel in comfort, with private bathrooms and even stewards. A large junk could carry a crew of 1000, he wrote. This seems incredible, and scholars hotly debate the question of the size of medieval junks", (Lunde, 2005).

Jung berasal dari Bahasa Jawa Kuno “jong” yang berarti “kapal besar”. Kata “Jung” digunakan pertama kali dalam perjalanan Odrico Jurnal, Jonhan de Marignolli, dan Ibnu Battuta berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14. Mereka memuji kehebatan kapal Jawa raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. 
Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dari karya kapal Borobudur, seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku. Ciri khas Jung Jawa antara lain adalah dua layar berandang dan bertirai, haluan kapal melengkung, rumah geladak yang besar, dayung rangkap, serta terbuat dari papan jati lapis empat yang mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis. Jung Jawa memiliki panjang 60 m – 180 m dan tonase 1600-2000 ton.

Kapal Jung Jawa terbesar dari Kerajaan Demak pernah digunakan untuk mengangkut pasukan Nusantara untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Armada Jawa yang menyerang Malaka itu terdiri dari 35 jung besar masing-masing memuat 500 ton.

Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa.

Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik – belakangan disebut sebagai “Kapal Borobudur”.

“Jung adalah suatu benda yang menakjubkan. Kapal Anunciada (kapal terbesar Portugis di Malaka pada saat itu) yang dekat dengannya sama sekali tak terlihat sebagai kapal karena ukurannya amat kecil jika dibandingkan dengan Jung itu. Kami menyerangnya dengan meriam bombar, tetapi tembakan bombar terbesar tak dapat melubanginya di bawah garis air, dan tembakan espera (jenis meriam besar lainnya) juga tidak dapat tembus; pada jung itu terdapat tiga susunan (papan lambung), semuanya lebih tebal daripada satu cruzado (sejenis uang Portugis berdiameter 38mm). Jung itu pasti begitu besar dan dahsyat, dan untuk membangun kapal itu perlu tiga tahun,” demikian Surat Fernao Peres de Andrade, komandan armada Portugis di Malaka, yang ditujukan kepada Alfonso de Albuquerque, tahun 1513.

Kapal Gracedieu buatan Inggris pada 1418 misalnya, memiliki panjang hanya 54 meter. Lagi pula kapal ini tak mampu berlayar. Bertahun-tahun hanya mengapung dan akhirnya ludes terbakar dilalap si jago merah. Lalu, diluncurkan Kapal Christoporus Columbus pada 1492 dan Vasco da Gama (1497). Kapal-kapal tersebut hanya memiliki kapasitas masing-masing 88 dan 171 penumpang.

“Kapal-kapal besar Eropa baru hadir setelah melewati hubungan interaksi dengan kapal-kapal yang digunakan di wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh kuat dari Jawa,” ungkap Nugroho (2011) dalam Majapahit Peradaban Maritim. Fakta tersebut menunjukkan, perdagangan yang dikelola Jawa jauh melampaui gabungan pedagang besar di wilayah Eropa.


Kapal Jung Jawa

Kapal Jung Jawa/Maritime Experiential Museum

Deskripsi fisik jong Jawa berbeda dengan jung China. Mereka terbuat dari kayu jati yang sangat tebal, dan ketika kapal menjadi tua, mereka diperbaiki dengan papan baru, dengan empat papan penutup, ditumpuk berlapis. Tali dan layar dibuat dengan anyaman rotan.

Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati pada saat laporan ini (1515), pada waktu itu jung China masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya. Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke tunas dan kemudian ke satu sama lain dengan semat kayu, tanpa menggunakan rangka (kecuali untuk penguat berikutnya), tanpa baut atau paku besi.

Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan dengan pasak, yang tetap di dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar. Pada beberapa bagian kapal yang lebih kecil dapat diikat bersama dengan serat tumbuhan. Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan layar lateen (sebenarnya layar tanja), tetapi ia juga menggunakan layar jung, jenis layar yang berasal dari Indonesia.

Ini sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya diikat oleh tali dan paku besi ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Kapal Cina memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas.
Kapal Jung di Atlas Miller

Bagian yang dipotong dari peta Samudera Hindia di atlas Miller, menunjukkan 2 jong, satu adalah kapal dengan 6 tiang dilihat dari belakang, yang lain adalah kapal dengan 7 tiang. Lambang bulan sabit menunjukkan bahwa jong ini berasal dari salah satu kesultanan Islam di Indonesia.


Pertemuan dengan jong raksasa dicatat oleh penjelajah Barat. Seorang Italia bernama Giovanni da Empoli (pedagang Florentine) mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang menjaga kamarnya sendiri.
Portugis mencatat setidaknya dua pertemuan dengan jong besar, satu ditemui di lepas pantai Pacem (Kesultanan Samudera Pasai) dan yang lainnya dimiliki oleh Pati Unus, yang menyerang Malaka Portugis pada 1513. Karakteristik kedua kapal itu serupa, keduanya lebih besar dari kapal Portugis, dibangun dengan banyak papan, tahan terhadap tembakan meriam, dan memiliki dua kemudi mirip dayung di samping kapal.


Jong Pati Unus dilengkapi dengan tiga lapis selubung (sheating) yang menurut orang Portugis lebih dari satu cruzado (koin) masing-masing. Orang China melarang kapal-kapal asing memasuki Guangzhou, karena khawatir kapal-kapal jung Jawa atau Melayu akan menyerang dan merebut kota itu, karena dikatakan bahwa salah satu dari jung ini akan mengalahkan dua puluh kapal jung Cina.


Lokasi produksi utama jong terutama di 2 tempat di sekitar Jawa. Tempat itu adalah di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang-Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir Selatan Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya. 

Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin. Pegu (sekarang Bago), yang merupakan pelabuhan besar pada abad ke-16, juga memproduksi jong, oleh orang Jawa yang menetap disana.

“Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa.” tulis pelaut Portugis Tom Pires dalam Summa Oriental (1515). Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka.


Pierre-Yves Manguin, salah seorang kolega Denys Lombard di EFEO (Sekolah Prancis untuk wilayah Timur Jauh), pernah menulis khusus tentang "jung", menurutnya kapal raksasa-kapal raksasa yang berasal dari galangan-galangan kapal yang dekat dengan kawasan hutan jati di Cirebon, Jepara, dan Tuban ini adalah kapal dagang utama orang-orang Asia Tenggara. Kelebihan yang paling utama dari kapal raksasa ini adalah kapasitasnya yang sangat besar dan bisa membawa komoditas yang sangat bernilai tinggi jika dibawa dalam jumlah besar pada waktu itu yakni beras.
Gaspar Correia, penulis sejarah abad 16 dari Portugis mencatat tentang pertemuan Alfonso Albuquerque dengan kapal raksasa Majapahit yang terjadi di Selat Malaka. Pramoedya menyebut, nama kapten terkenal Portugis itu berdasarkan penamaan orang Jawa pesisir yakni "Kongso Dalbi". Catatan Gaspar itu menyebutkan bahwa kapal raksasa itu tidak mempan ditembak meriam yang terbesar. Hanya dua lapis papan yang bisa ditembus dari empat lapis papan kapal itu. Saat kapten mencoba untuk menaikinya bagian belakang kapal Flor de la Mar tidak bisa mencapai jembatannya.

Kapal Portugis Flor de La Mar, dikenal memiliki kapasitas 500 orang pasukan dan 50 buah meriam. Data ini jika dibandingkan dengan kapasitas Jong Jawa, akan cukup timpang. Menurut buku “Majapahit Peradaban Maritim”, Jung Jawa memiliki ukuran 4 hingga 5 kali lipat Kapal Flor de La Mar. Jung Jawa memiliki panjang 300-400 meter. Sehingga jika dibandingkan dengan kapal milik Cheng Ho yang hanya memiliki panjang 138 meter, Jung Jawa jauh lebih besar.

Alfonso Albuquerque sendiri mencatat kalau jung itu memiliki empat tiang layar. Bobot muatannya sekitar 600 ton. Sedangkan yang terbesar tercatat dimiliki Kerajaan Demak dengan bobot mencapai 1.000 ton. Fernao Pires de Andrade mencatat dalam rangkuman Tome Pires kalau kapal itu butuh tiga tahun untuk membangunnya. Konon Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan perancang kapal dari Jawa untuk bekerja bagi Portugis di Malaka. Satu buah jung tercatat berhasil dibawa ke Portugal dan digunakan menjadi kapal penjaga pantai di Savacem.

Kapal Jung China

Kapal Junk China

Perkapalan laut China tidak ada sampai akhir dinasti Song, pada masa sebelum itu kapal mereka adalah kapal sungai. Namun, kapal dagang besar Austronesia yang berlabuh di pelabuhan Tiongkok dengan empat layar dicatat oleh para sarjana sejak Dinasti Han (206 SM – 220 M). Mereka disebut kunlun bo atau kunlun po (崑崙舶, lit. "kapal dari orang Kunlun berkulit gelap"). Mereka dinaiki oleh peziarah Buddha Tiongkok untuk perjalanan ke India Selatan dan Sri Lanka.


Buku abad ke-3 berjudul "Hal-Hal Aneh dari Selatan" (南州異物志) oleh Wan Chen (萬震) menggambarkan salah satu kapal Nusantara ini mampu membawa 600-700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 hu (斛) kargo (menurut berbagai interpretasi, berarti 250-1000 ton - 600 ton bobot mati menurut Manguin). Kapal yang besar lebih dari 50 meter panjangnya dan tingginya di atas air 5,2-7,8 meter. Bila dilihat dari atas kapal-kapal itu serupa galeri-galeri yang diatapi. Dia menjelaskan desain layar kapal sebagai berikut:

Orang-orang yang berada di luar penghalang, sesuai dengan ukuran kapalnya, terkadang memasang (sampai sebanyak) empat layar yang mereka bawa secara berurutan dari haluan ke buritan. (...) Keempat layar itu tidak menghadap ke depan secara langsung, tetapi diatur secara miring, dan diatur sedemikian rupa sehingga semuanya dapat diperbaiki ke arah yang sama, untuk menerima angin dan menumpahkannya. 


Layar-layar yang berada di belakang angin paling banyak menerima tekanan angin, melemparkannya dari satu ke yang lain, sehingga mereka semua mendapat keuntungan dari kekuatannya. Jika sedang badai, (para pelaut) mengurangi atau memperbesar permukaan layar sesuai dengan kondisi. 

Layar miring ini, yang memungkinkan layar untuk menerima angin dari satu dan lainnya, menghindarkan kecemasan yang terjadi ketika memiliki tiang tinggi. Dengan demikian kapal-kapal ini berlayar tanpa menghindari angin kencang dan ombak besar, dengan itu mereka dapat mencapai kecepatan tinggi.— Wan Chen.
Kapal jung Cina Selatan didasarkan pada jong (dikenal sebagai po oleh orang Cina, sebenarnya dari kata bahasa Jawa "perahu" - dulunya berarti kapal besar). Austronesia berpapan banyak dan berlunas. Kapal jung Cina Selatan menunjukkan ciri-ciri jong Austronesia: Lambung berbentuk V dan berujung ganda dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis. Ini berbeda dengan kapal jung Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar. Kapal-kapal Cina utara memiliki dasar lambung yang rata, tidak memiliki lunas, tanpa rangka (hanya sekat kedap air), buritan dan haluan berbentuk kotak/persegi, dibuat dari kayu pinus atau cemara, dan papannya diikat dengan paku besi atau penjepit.

Hilangnya Kapal Jung

Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan Pati Unus di Malaka membawa pengaruh yang besar bagi hilangnya kapal-kapal besar dari galangan-galangan kapal di pesisir utara Jawa. Bergesernya kekuasaan Mataram ke pedalaman adalah salah satu yang membuat galangan-galangan kapal yang tersebar di pesisir ditinggalkan. Salah satu pukulan terbesar adalah saat penguasa Mataram menghancurkan sendiri kota-kota pesisir yang menyimpan peninggalan-peninggalan galangan dan kebijakan isolasi diri.

Perintah Amangkurat I pada 1655, dicatat Rendra F Kurniawan (2009) sebagai kebijakan represif Mataram yang paling memukul kota-kota pesisir. Perintah nya untuk menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal agar tidak memicu pemberontakan membuat punahnya lapisan ahli-ahli pembuat kapal yang sejak masa Demak sendiri sudah tinggal sisa-sisa.

Serangan VOC pada 1618, 1628, dan 1629 telah membakar hampir semua Jung Jawa. Bersamaan dengan itu, jejak kejayaan kapal ini pun seolah terlupakan dari sejarah. Kondisi itu semakin diperburuk ketika VOC mulai menguasai pelabuhan-pelabuhan pesisir di pertengahan abad 18. Pada saat itu VOC melarang galangan kapal membuat kapal dengan tonase melebihi 50 ton dan menempatkan pengawas di masing-masing kota pelabuhan.

Kesimpulan

Indonesia Bangkit/narasiinspirasi.com

Selain menguasai teknologi perkapalan, navigasi (peta), ketangguhan kekuatan maritim, angkatan laut dan diplomasi, Nusantara juga diperkuat dengan kekuatan agraris yang tangguh. Hal itu pula yang menyebabkan Majapahit berhasil menjadi kemaharajaan yang besar dan berpengaruh di Asia. Kalau sekarang ini Indonesia masih terpuruk dan kalah jauh dibandingkan dengan kekuasaan Jawa tempo dulu, tentu ada yang salah dalam membangun dan menata bangsa ini. Laut yang harusnya menjadi pemersatu bangsa terkesan dibiarkan, dipunggungi, tak diurus sebaik-baiknya.

Popularitas Jawa (Nusantara) mulai meredup ketika para penguasa melupakan lautnya. Itulah yang tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa. Dominasi niaga laut Jawa berakhir saat pemerintah kesultanan waktu itu keliru mengambil kebijakan. Lebih dari itu kesultanan justru malah membubarkan dan menelantarkan armada laut yang selama ini menjadi kedigdayaan Nusantara. Ia mengisolasi Jawa dari luar. Akibatnya, dominasi negara maritim yang pernah berjaya itu terus meredup. Perilaku raja yang meminggirkan negara maritim dan melupakan sejarah kejayaan sebagai penguasa dunia itu mengakibatkan Jawa dan Nusantara kian terpuruk.

Diperparah ketika VOC Belanda dan bangsa asing lainnya berhasil menaklukkan, mengadu domba dan menguasai Jawa dengan mudah karena memang minim perlawanan dari penguasa Jawa, karena tidak memiliki pertahanan yang tangguh, sejak saat itulah VOC terus berkibar. Ia memonopoli perniagaan hampir setara dengan yang dikuasai Jawa. Sejak itulah, hari demi hari Jawa penuh dengan kegelapan. Nasibnya serupa dengan Eropa pasca-Romawi. Bahkan lebih tragis lagi, rakyat Jawa telah menjelma menjadi budak-budak dari kolonialis tersebut.

Jika kita ingin mewujudkan kehidupan masyarakat bangsa yang maju, modern, sejahtera, dan menjadi adidaya maka kita harus tetap di laut, menguasai kembali lautan dan berhenti merasa inferior. Mengutip Nugroho (2011) dalam Majapahit Peradaban Maritim, maka dari itu kita harus menyatukan tekad untuk membangun patriotisme baru yang memiliki akar kesejarahan yang kuat. Yakni, semangat persatuan, semangat kemajuan dengan nilai-nilai budaya kemaritiman. Dengan kata lain, Indonesia dapat bersinar lagi di kancah perekonomian global jika para pemimpin negeri memiliki kebijakan kuat di laut. Dengan keunggulan komparatif tersebut dan didukung sejarah budaya maritim yang kuat, dan kemauan untuk berubah maka niscaya kita mampu mengembalikan kejayaan Nusantara di masa silam. 

Referensi :

Albuquerque, Afonso de (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774. London: The Hakluyt society.

Angkatan Laut Majapahit Dengan Kapal Jung Raksasa. https://theglobal-review.com/angkatan-laut-majapahit-dengan-kapal-jung-sang-raksasa-lautan/

Barbosa, Duarte (1866). A Description of the Coast of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century. The Hakluyt Society.

Cartas de Afonso de Albuquerque, Volume 1, p. 64, April 1, 1512

Casparis, Johannes G. de (1956). Prasasti Indonesia: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D. Bandung: Masa Baru

Couto, Diogo do (1645). Da Asia: Nine decades. Lisbon: Regia Officina Typografica, 1778-88. Reprint, Lisbon, 1974. Vol. IV, p. 169.

Dick-Read, Robert (July 2006). "Indonesia and Africa: questioning the origins of some of Africa's most famous icons". The Journal for Transdisciplinary Research in Southern Africa. 2: 23–45.

Jong Sang Gargantua dari Laut Jawa. Indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/jong-sang-gargantua-dari-laut-jawa

Jung Jawa Yang Terlupakan. www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/info/berita-
khusus/Pages/Jung-Jawa-yang-Terlupakan.aspx.

Jong Sang Gargantua dari Laut Jawa. https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/jong-sang-gargantua-dari-laut-jawa

Kapal Besar Jung Jawa Armada Terbesar Indonesia. www.goodnewsfromindonesia.id/2018/01/23/kapal-besar-jung-jawa-armada-terbesar-indonesia-di-masa-lampau-yang-jarang-orang-ketahui/amp

Liebner, Horst H. (2016). Beberapa Catatan Akan Sejarah Pembuatan Perahu Dan Pelayaran Nusantara. Jakarta: Indonesian Ministry of Education and Culture.

Liebner, Horst H. (2002). Perahu-Perahu Tradisional Nusantara. Jakarta.

Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Alih bahasa Indonesia dari Lombard, Denys (1990). Le carrefour javanais. Essai d'histoire globale (The Javanese Crossroads: Towards a Global History) vol. 2. Paris: Éditions de l'École des Hautes Études en Sciences Sociales.

Lunde, Paul. 2005. The Traveller Ibn Battuta. https://archive.aramcoworld.com/issue/200504/the.traveler.ibn.battuta.htm. diakses Sabtu 7 November 2020 pukul 14.17

Manguin, P.Y. (1980). The Cambridge History of Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.

Manguin, Pierre-Yves (September 1980). "The Southeast Asian Ship: An Historical Approach". Journal of Southeast Asian Studies. 11: 266–276 – via JSTOR.

Manguin, Pierre-Yves. (1993). 'The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleets in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)', in Anthony Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era(Ithaca: Cornell University Press), 197-213.

Manguin, Pierre-Yves (1993). Trading Ships of the South China Sea. Journal of the Economic and Social History of the Orient. 253-280.

Michel Munoz, Paul (2008). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Continental Sales. hlm. 396–397. ISBN 9814610119.

Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.

Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.

Nugroho (2011). h. 286, mengutip Hikayat Raja-Raja Pasai", 3: 98: "Sa-telah itu, maka disuroh baginda musta'idkan segala kelengkapan dan segala alat senjata peperangan akan mendatangi negeri Pasai itu, sa-kira-kira empat ratus jong yang besar-besar dan lain daripada itu banyak lagi daripada malangbang dan kelulus.". Juga lihat Hill, A. H. (Juni 1960). "Hikayat Raja-Raja Pasai". Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 33: h. 98 dan 157: Then he directed them to make ready all the equipment and munitions of war needed for an attack on the land of Pasai - about four hundred of the largest junks, and also many barges (malangbang) and galleys.

Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 9786029346008.

Pati Unus. id.wikipedia.org/wiki/Pati_Unus

Pires, Tome. Suma Oriental. London: The Hakluyt Society.

Pires, Tome (1944). The Suma oriental of Tomé Pires : an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 ; and, the book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515. London: The Hakluyt Society. ISBN 9784000085052.

Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 112. ISBN 9789792213515.

Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History Of Modern Indonesia Since c. 1200 Fourth Edition. New York: Palgrave Macmillan. hlm. 100. ISBN 9780230546851.

Strange Things of the South", Wan Chen, dari Robert Temple

Teknologi Era Majapahit". Nusantara Review (dalam bahasa Inggris). 2018-10-02. Diakses tanggal 2020-06-11.

The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleets in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)', in Anthony Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era(Ithaca: Cornell University Press), 197-213.

Worcester, G. R. G. (1971). The Junks and Sampans of the Yangtze. Naval Institute Press. ISBN 0870213350.











Lebih baru Lebih lama