Tradisi Selamatan Kematian dan Perlengkapan Upacara Pemakaman Masyarakat Jawa

Tradisi Upacara Pemakaman Orang Jawa/narasiinspirasi.com

Oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Malang Terang, 01 Februari 2021) 

Kematian memang selalu menjadi salah satu momen yang paling menyedihkan dalam setiap perjalanan hidup manusia. Tidak ada satupun cara yang bisa kita lakukan sebagai manusia untuk menghindari momen yang dianggap menyedihkan ini. Secara umum pada saat keluarga ataupun kerabat meninggal biasanya cukup hanya di doakan lalu dimakamkan. Namun beberapa suku di Indonesia mempunyai cara, tradisi, ritual, uapacara, maupun adat istiadat yang dilakukan pada saat keluarga atau kerabat mereka meninggal dunia, demikian juga tradisi upacara pemakaman pada masyarakat suku Jawa. 

Daftar Isi Artikel
  1. Persepsi Kehidupan dan Kematian Bagi Orang Jawa
  2. Prosesi Upacara Pemakaman Orang Jawa
  3. Perlengkapan Upacara Pemakaman Orang Jawa
  4. Kesimpulan
  5. Referensi


Persepsi Kehidupan dan Kematian Bagi Orang Jawa


Mati dalam bahasa Jawa disebut dengan pejah. Konsepsi orang Jawa tentang kematian dapat dilihat dari cara bagaimana orang Jawa dalam mempersepsikan kehidupan.

Masyarakat Jawa merumuskan konsep aksiologis bahwa urip iki mung mampir ngombe (hidup ini cuma sekedar mampir minum). Atau dengan konsep yang lain, urip iki mung sakdermo nglakoni (hidup ini cuma sekedar menjalani) atau nrima ing pandhum (menerima apa yang menjadi pemberian-Nya). 


Menurut pemahaman orang Jawa, setiap manusia telah digariskan oleh takdir. Baik atau buruk, bahagia atau derita, kaya atau miskin, hidup dan mati adalah buah dari ketentuan takdir yang harus diterima dengan sikap legawa. Sedangkan sikap legawa adalah situasi batin yang muncul karena suatu sikap nrima ing pandhum itu sendiri yaitu kemampuan diri untuk bersyukur dan ikhlas menerima segala bentuk kehidupan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. 

Dalam perspektif Jawa kematian hakekatnya adalah mulih (pulang ke asal mulanya). Orang Jawa memahami kehidupan dan kematian dalam filosofi sangkan paraning dumadi untuk mengetahui dari mana manusia berasal dan akan kemana tujuan manusia setelah hidup atau mati. Hal ini tersirat maknanya dalam kalimat tembang Dhandanggula :


“Kawruhana sejatining urip ana jeruning alam donya
bebasane mampir ngombe
umpama manuk mabur
lunga saka kurungan niki
pundi pencokan benjang
awja kongsi kaleru
njan sinanjan ora wurung bacal mulih
umpama lunga sesanja
 mulih mula mulanira.” 

"Ketahuilah sejatinya hidup, hidup di alam dunia, ibarat perumpamaan mampir minum, ibarat burung terbang, pergi dan kurungannya, di mana hinggapnya besok, jangan sampai keliru, umpama orang pergi bertandang, saling bertandang, yang pasti bakal pulang, pulang ke asal mulanya" (Layungkuning, 2013: 109-110).

Berbicara tentang hakikat kematian merupakan persoalan yang sangat rumit. Hakikat kematian dalam dimensi filsafat termasuk dalam ranah dan ruang lingkup ontologis. Penulis berpendapat bahwa kematian merupakan suatu fase dari sebuah pembebasan menuju kehidupan yang sebenarnya. Sebuah perjalanan sunyi yang menjadi awal dari terlepasnya belenggu kehidupan yang fana. Setiap yang bernyawa hakikatnya pasti akan merasakan mati dan hanya orang-orang yang mengerti tentang makna "kematian" itulah yang akan memahami tentang bagaimana cara dalam menjalani dan memaknai hidup. Tidak ada yang benar-benar mengerti tentang kematian sebelum kematian itu dialami sendiri. 


Rasulullah pernah bersabda bahwa sesungguhnya dunia itu merupakan belenggu (penjara) bagi orang-orang yang beriman. Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa “dunia ini adalah alam kematian”. Hidup sesungguhnya hanyalah sebuah persiapan untuk memasuki kehidupan yang sebenarnya dan jika tidak siap, maka jiwa akan terperangkap ke dalam alam kematian kembali yang bersifat mayit atau bangkai. Hidup yang sebenarnya adalah hidup tanpa raga, karena raga telah banyak menimbulkan kesesatan. Raga adalah kerangkeng bagi diri atau jiwa yang menyebabkan manusia hidup dalam banyak penderitaan (Chodjim, 2002: 22-24).

Sesungguhnya hakikat hidup adalah kekal selamanya dan tak tertimpa kematian. Perputaran bumi pada porosnya, atau terjadinya siang dan malam adalah merupakan analogi yang menggambarkan tentang hal hidup dan mati. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia bukan jalan hidup tetapi jalan menuju kematian. Hidup yang sebenarnya adalah tanpa raga, telanjang dalam wujud frekuensi murni. Kebutuhan manusia di dunia akan makanan dan minuman atau sandang, pangan, papan (pakaian, makanan dan tempat tinggal) selama di dunia hanyalah sarana untuk menunda kematian, sedangkan kelahiran manusia tak lain adalah proses kematian itu sendiri, karena kematian itu tidak bisa dihentikan (Chodjim, 2002: 27).

Prosesi Upacara Pemakaman Orang Jawa


Geertz dalam buku The Religion of Java. Ia menjelaskan bahwa ketika terjadi kematian di suatu keluarga, maka hal pertama yang harus dilakukan orang Jawa adalah dengan memanggil modin, selanjutnya menyampaikan berita kematian tersebut ke sekitar, meliputi tetangga, kerabat, RT, perangkat desa. Kabar bahwa telah terjadi suatu kematian umumnya disiarkan melalui toa masjid. Kalau kematian itu terjadi sore atau malam hari, mereka menunggu sampai pagi berikutnya untuk memulai proses pemakaman. Pemakaman orang Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. 


Segera setelah mendengar berita kematian, para tetangga meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukannnya untuk pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian tersebut. Setiap perempuan membawa sebaki beras, yang setelah diambil sejumput oleh orang yang sedang berduka cita untuk disebarkan ke luar pintu, kemudian segera ditanak untuk slametan. Para laki-laki membawa alat-alat untuk nisan, dan membuat usungan/keranda untuk membawa mayat ke makam, dan lembaran papan untuk diletakkan di liang lahat.
Dalam tradisi masyarakat Islam Jawa dalam ritual pemakamannya, pertama terdapat ritual semacam “pembekalan” bagi ruh dalam fase kehidupannya di alam yang baru. Karena ruh itu tidak pernah mati, pembekalan terhadap ruh orang yang meninggal diyakini dapat ditangkap dan dirasakan oleh ruh orang yang telah meninggal tersebut. 

Di antarnya adalah dikumandangkannya adzan dan iqamah setelah mayat diletakkan di liang lahat dan sebelum ditimbun dengan tanah, setelah itu dibacakan talkin (talqin). Modin membacakan talkin yang merupakan rangkaian pidato pemakaman yang ditujukan kepada almarhum, pertama-tama dalam bahasa Arab dan kemudian dalam bahasa Jawa (Geertz, 1983: 95). 


Talqin dalam bahasa Arab maknanya adalah mendikte. Jadi talqin adalah mendiktekan kata-kata atau kalimat tertentu agar ditirukan oleh orang yang baru meninggal tersebut. Yang dimaksudkan di sini adalah mengajarkan kepada ruh agar dapat mengingat dan menjawab pertanyaan di alam kubur. 

Tradisi ini di sandarkan pada kenyataan teologis bahwa ketika seseorang telah dikuburkan maka Allah akan mendatangkan dua malaikat penanya si mayat di dalam kubur. Sehingga subtansi talqin itu sesungguhnya mengingatkan pada ruh jenazah tentang pertanyaan-pertanyaan di alam kubur. 

Masyarakat umumnya meyakini bahwa ruh orang yang di kubur dapat mendengar dan merasakan kehadiran orang yang masih hidup, bahkan menjawab salam orang yang mengunjunginya. Dengan demikian ketika dibacakan talqin terhadapnya setelah dikuburkan maka ia dapat mendengar nasihat dan memperoleh manfaat darinya (Sholikhin, 2010: 20-25).

Situasi sosial budaya masyarakat Islam Jawa dapat dilihat dari budaya yang berkaitan dengan ritual keagamaan maupun tradisi lokal masyarakat tersebut. Tradisi lokal upacara kematian orang Jawa ini dilakukan setiap ada orang yang meninggal dunia dan dilaksanakan oleh keluarga yang ditinggalkan. Adapun pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

1. Pemberitahuan

Tentu saja hal yang menjadi langkah pertama yang akan di lakukan saat mengetahui keluarga/kerabat yang meninggal adalah memberitahukan kabar duka tersebut ke tetanggga, kerabat, keluarga terdekat. Jenazah yang baru saja meninggal dunia segera ditidurkan secara membujur, menelentang, dan menghadap ke atas. 

Selanjutnya mayat ditutup dengan kain batik yang masih baru. Kaki dipan tempat mayat itu ditidurkan perlu direndam dengan air, maksudnya agar dipan itu tidak dikerumuni semut atau binatang kecil lainnya. Tikar sebagai alas tempat jenazah dibaringkan perlu diberi garis tebal dari kunyit dengan maksud agar binatang kecil tidak mengerumuni mayat. Terakhir adalah membakar dupa wangi atau ratus untuk menghilangkan bau yang kurang sedap.


Bersamaan dengan hal diatas, beberapa orang terdekat bertugas memanggil seorang modin dan mengumumkan kematian itu kepada para sanak saudara dan tetangga. Pemberitaan juga dilakukan dengan bantuan pengeras suara dari masjid terdekat. Setelah kabar tersiar mereka yang mendengar akan berusaha segera datang ketempat itu untuk membantu menyiapkan pemakaman.


2. Upacara Brobosan

Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam dilakukan suatu upacara yang disebut dengan “upacara brobosan”. Upacara brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada mereka (jenazah) yang telah meninggal dunia. Biasanya brobosan dilakukan apabila yang meninggal adalah orang yang sepuh, atau pinisepuh yang dituakan dan dihormati. Apabila yang meninggal anak-anak/muda biasanya tidak dilakukan brobosan. 

Upacara brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Namun sebelum upacara dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri hingga jenazah benar-benar diberangkatkan.

Upacara brobosan tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:

a. Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai.

b. Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam.

c. Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.


Setelah itu jenazah diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada. 

Adapun urutan untuk melakukan perjalanan ke pemakaman juga diatur. Yang berada diurutan paling depan adalah penabur sawur (terdiri dari beras kuning dan mata uang), kemudian penabur bunga dan pembawa bunga, pembawa kendi, pembawa foto jenazah, keranda jenazah, barulah dibagian paling belakang adalah keluarga maupun kerabat yang turut menghantarkan.  


3. Upacara Ngesur Tanah

Bertepatan dengan kematian (ngesur tanah) dengan rumusan jisarji, maksudnya hari kesatu dan pasaran juga kesatu. Ngesur tanah memiliki makna bahwa jenazah yang dikebumikan berarti berpindah dari alam fana ke alam baka dari tanah selanjutnya kembali ke tanah. Upacara ini berupa kenduri biasanya diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. 

4. Selamatan Telung Dina (Tiga Hari-an)

Setelah kematian pada hari ke 3 dengan rumus lusaru, yaitu hari ketiga dan pasaran ketiga. Selamatan ke tiga hari berfungsi untuk menyempurnakan empat perkara yang disebut anasir hidup manusia, yaitu bumi, api, angin dan air. Upacara selamatan tiga hari memiliki arti memberi penghormatan dan mendoakan orang yang meninggal. Sekaligus momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas nama alamarhum dan keluarganya. 

5. Selamatan Pitung Dina (Tujuh hari-an) 

Setelah kematian (mitung dina) dengan rumusan tusaro, yaitu hari ketujuh dan pasaran kedua. Upacara selamatan hari ketujuh berarti melakukan penghormatan terhadap ruh yang mulai akan ke luar rumah. Dalam selamatan selama tujuh hari dibacakan tahlil, yang berarti membaca kalimah la ilaha illa Allah, agar dosa-dosa orang yang telah meninggal diampuni oleh-Nya.

6. Selamatan Patang Puluhan (Empat puluh hari-an) 

Selamatan 40 hari-an dengan rumus masarama, yaitu hari ke lima dan pasaran ke lima. Selamatan empat puluh hari (matangpuluh dina), dimaksudkan untuk mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Sekaligus momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas nama alamarhum dan keluarganya. 

7. Selamatan Nyatus Dina (Seratus hari) 

Selamatan nyatus atau seratusan hari dengan rumus rosarama yaitu hari ke dua pasaran ke lima. Selamatan seratus hari berfungsi untuk menyempurnakan semua hal yang bersifat badan wadag. Selamatan mendhak sepisan untuk menyempurnakan kulit, daging, dan jeroan. Upacara seratus hari (nyatus dina), untuk mendoakan dan memberikan penghormatan terhadap ruh yang sudah berada di alam kubur. Sekaligus momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas nama alamarhum dan keluarganya. 

8. Selamatan Mendak Pisan (Tahun ke 1) 

Satu tahun setelah kematian (mendak pisan) dengan rumus patsarpat, yaitu hari ke empat dan pasaran ke empat. Bermaksud mendoakan si mayit agar senantiasa diberikan ampunan dan perlindungan dari yang Maha Kuasa. Sekaligus momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas nama alamarhum dan keluarganya. 

9. Selamatan Mendhak Pindho (Tahun ke-2) 

Tahun ke dua (mendhak pindho), dengan rumus jisarlu, yaitu hari satu dan pasaran ketiga. Selametan mendhak pindho berfungsi untuk mendoakan dan menyempurnakan semua kulit, darah dan semacamnya yang tinggal hanyalah tulangnya saja. Sekaligus momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas nama alamarhum dan keluarganya. 


10.  Selamatan Nyewu (Seribu Hari-an) 

Seribu hari setelah kematian (nyewu), dengan rumus nemasarma, yaitu hari ke enam dan pasaran ke lima. Selamatan nyewu bermaksud mendoakan si jenazah agar selalu mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari yang Maha Kuasa. Sekaligus momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas nama alamarhum dan keluarganya. 


11. Haul atau Khol

Haul (khol), peringatan kematian pada setiap tahun dan meninggalnya seseorang. Haul (khol) memiliki arti untuk mengenang kembali memori perjalanan seseorang yang telah meninggal untuk dijadikan suri tauladan dan aspek kebaikan perilakunya, memberikan penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasanya terhadap keluarga, masyarakat dan agamanya.


Hal ini tentunya akan memberikan spirit dan motivasi tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkannya. Ritual acara khol ini biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang dan status sosial tertentu. Seperti tokoh masyarakat, para kyai kharismatik dan orang-orang yang dianggap keluarganya sebagai seseorang yang memberikan peran yang sangat berarti bagi keluarga.

12. Nyadran

Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam.

Di samping tradisi tersebut di atas terdapat juga tradisi membaca surat Yasin setiap malam Jum’at yang dikhususkan untuk ahli kubur/orang-orang yang telah meninggal, dengan tujuan berdoa untuk memohonkan ampunan bagi arwah ahli kubur agar mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya, yaitu masuk ke dalam surga-Nya. 

Kemudian ada juga tradisi menyelenggarakan acara arwahan pada bulan Sya’ban yaitu keluarga mengundang masyarakat sekitar untuk datang ke rumah setelah shalat magrib atau setelah shalat Isya’ dengan mengadakan acara membaca surah Yasin dan Tahlil yang pahalanya dikhususkan bagi arwah ahli kubur dan keluarganya. 


Tradisi Upacara Kematian Orang Jawa/narasiinspirasi.com

Perlengkapan Pemakaman Orang Jawa

Perlengkapan lain yang ada dalam upacara pemakaman orang Jawa, secara keseluruhan ada bermacam-macam diantaranya ada:

1. Sawur
Sawur terdiri dari sejumlah uang logam, beras kuning (beras yang dicampur dengan kunyit yang diparut) ditambah kembang telon (mawar, melati dan kenanga) serta sirih. 


Semuanya itu ditempatkan dalam bokor atau takir (wadah yang terbuat dan daun pisang). Seperti disebutkan di atas, hal ini dimaksudkan sebagai bekal si mati agar selalu mendapatkan kemurahan dari Tuhan, di samping juga ditujukan terhadap keluarga yang ditinggalkan.


2. Payung
Payung yang digunakan dalam upacara kematian sering disebut payung jenasah. Payung itu mempunyai tangkai yang panjang. Payung itu digunakan untuk memayungi jenasah sejak keluar dan rumah hingga sampai di kuburan. 

Payung tersebut melambangkan perlindungan. Dalam upacara kematian, penggunaan payung melambangkan agar arwah Si mati selalu mendapatkan perlindungan dan Tuhan atau sering disebut “diayomi”. Sebagai bekal dalam perjalanan jauh, payung itu juga dimaksudkan untuk mendapat perlindungan dari panas dan hujan.


3. Sepasang Nisan atau Maesan
Biasa terbuat dari cor atau jenis kayu yang kuat dan tahan air serta awet. Dibuat dengan ukuran panjang sekitar 60 cm, lebar 15 cm, tebal sekitar 5 cm. Pada bagian atas berbentuk runcing agak menumpul dengan ukiran bunga melati. Sepasang maejan yang terdiri 2 buah itu ditanam di atas kuburan, satu di bagian arah kepala dan satunya lagi di bagian arah kaki. 

Maejan tersebut sebagai tanda bahwa pada tempat tersebut telah dikuburkan seseorang. Maejan yang yang berada pada bagian arah kepala jenasah yang dikuburkan biasanya dituliskan nama orang yang dikuburkan beserta hari tanggal, bulan dan tahun kematiannya, dengan dasar tahun Jawa ataupun tahun masehi. Sedangkan ukiran berbentuk/motif bunga melati sebagai lambang keharuman.


4. Tempayan kecil (klenting) atau kendi
Kendi atau klenting digunakan untuk wadah air tawar yang dicampuri dengan serbuk atau minyak cendana dan kembang telon, yang nantinya akan disiramkan di atas kuburan dan maejan. Semua itu melambangkan kesucian, kesegaran dan keharuman nama si mati.

5.  Degan Ijo atau Krambil Ijo Muda

Kelapa hijau yang masih muda itu nantinya, setelah jenasah dikuburkan, dibelah dan ainnya disiramkan di atas kuburan. Sedangkan belahannya juga ditelungkupkan di atas kuburan itu pula. Maksudnya adalah sebagai air suci, juga air segar pelepas dahaga. Maksud yang lain ialah sebagai penolak bala dan keteguhan hati si mati. Dalam hal ini dikiaskan pohon kelapa sebagai pohon yang teguh dan tidak mudah terombang-ambing angin atau lainnya.


6. Gegar mayang atau Kembar Mayang

Gegar mayang adalah semacam buket atau rangkaian bunga, yang terbuat dan janur (daun kelapa muda) juga bunga yang dirangkai, yang biasanya ditancapkan pada sepotong batang pohon pisang, sepanjang kurang lebih 15 cm. Gagar mayang ini digunakan bila orang yang meninggal adalah remaja atau dewasa yang belum pernah menikah. Hal itu dimaksudkan untuk penghormatan kepada almarhum. 

Kesimpulan

Tradisi ritual upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa merupakan tradisi yang telah mengalami proses akulturasi budaya antara Islam dan Jawa semenjak lama. Sehingga tradisi tersebut adalah tradisi yang sangat khas di Indonesia dan tidak dimiliki oleh masyarakat yang ada di negara lain. Sinergi budaya Islam dan Jawa membentuk sebuah kebudayaan baru yang memiliki makna dan tujuan-tujuan luhur yang menambah khasanah intelektual dan kebudayaan bangsa. 


Namun demikian tidak berarti bahwa ritual upacara kematian yang berlaku di masyarakat Islam Jawa begitu saja bisa dijustifikasi sebagai perilaku sesat. Karena budaya merupakan fitrah yang diberikan oleh Tuhan kepada seluruh manusia yang hidup di muka bumi ini, dan Allah menciptakan manusia dalam bentuk keragaman suku dan bangsa yang memiliki keragaman budaya. Sehingga tidak ada alasan sebuah budaya bisa begitusaja dijustifikasi sebagai sesuatu yang sesat sepanjang tidak menyimpang dari ajaran agama. Budaya merupakan khazanah dan aset bangsa, yang harus dilestarikan dan dikembangkan bukan untuk digusur dan dimatikan.


Referensi


Chodjim, Achmad. 2002. Syekh Siti Jenar: Makna Kematian. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta

Geertz, Cliford. 1983. The Religion of Java. Terjemahan. Jakarta: Aswab Mahasin Pustaka Jaya.

Karim, A. 2017. Tradisi Masyarakat Nelayan Rawa Pening Kelurahan Bejalen Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang. Sabda. Vol. 12 No: 2. ISSN: 1410–7910 

Layungkuning, Bendung. 2013. Sangkan Paraning Dumadi Orang Jawa dan Rahasia Kematian. Yogyakarta : Penerbit Narasi

Sholikhin, Muhammad. 2010. Ritual Kematian Islam Jawa. Pengaruh Tradisi Lokal Indonesia dalam Ritual Kematian Islam. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Suwito, A. Srianto dan A. Hidayat. 2014. Tradisi Kematian Wong Islam Jawa. JPA. Vol 15 no (2). ISSN : 14114875


Lebih baru Lebih lama