Toleransi dalam Falsafah Hidup Orang Jawa



Toleransi dalam Falsafah Hidup Orang Jawa
Toleransi dalam Falsafah Hidup Orang Jawa

oleh
Fajar R. Wirasandjaya 
(Sunyi Senyap, 02 Agustus 2019)

Narasiinspirasi.com - Polaritas masyarakat Indonesia yang terjadi pasca kontestasi politik berbahaya jika terus menerus dipelihara tanpa upaya rekonsiliasi. Masyarakat terbelah, rasa persatuan dan toleransi hilang karena perbedaan pandangan politik. Seringkali kita mendengar dan sangat familiar dengan istilah toleransi. Tapi kesulitan dalam mendefinisikan apa itu toleransi dan bagaimana bertoleransi. Menurut Dimont (1980) toleransi adalah pengakuan masyarakat yang majemuk yang mengakui perdamaian dan menunjukkan sikap atau perilaku yang tidak menyimpang dari aturan, serta menghargai atau menghormati setiap tindakan orang lain. 

Tak terkecuali masyarakat suku Jawa. Sebagai suku bangsa mayoritas di Indonesia dengan nilai-nilai budaya yang luhur. Masyarakat Jawa semenjak dahulu kala telah mengenal, memahami serta mengamalkan nilai nilai toleransi dalam tatanan masyarakat. Konsep-konsep nilai luhur ajaran moral masyarakat Jawa terkait toleransi banyak dijumpai dalam berbagai bentuk ajaran berupa pitutur Jawa, suluk, paribasan / peribahasa dst. Berikut ini kami kutipkan beberapa diantaranya:

Toleransi dalam Falsafah Hidup Orang Jawa
Toleransi dalam Falsafah Hidup Orang Jawa

A. Prisip Tenggang Rasa
1. Têpa Salira
Têpa : ukuran, pertimbangan, perkiraan
Salira/sêlira : diri sendiri
Artinya segala sikap, ucapan, perbuatan pada orang lain terlebih dulu dibayangkan dirasakan bila diterapkan pada diri sendiri. Misal apakah kita masih akan berbuat kasar dan menyakiti orang lain, apabila kita tau bila diri kita disakiti ataupun dikasari itu sakit?. Semua hal kita kembalikan kediri kita masing-masing. Bila tidak maka jangan dilakukan pada oranglain. Senada dengan ungkapan 'aja njiwit yen ra gêlêm dijiwit, yen krasa lara mula aja nglarani wong liya' (jangan mencubit bila tak ingin dicubit, bila disakiti trasa sakit maka jangan lakukan pada oranglain).

2. Êmpan papan
Êmpan : penerapan
Papan : tempat
Orang jawa memiliki anggapan bahwa kebenaran suatu sikap dan tindakan itu sifatnya relatif. Artinya benar pada suatu waktu dan tempat tertentu, bisa menjadi salah bila dilakukan pada waktu atau tempat lain. Bisa diartikan dimana bumi kupijak disitu langit ku junjung. Empan papan berarti keluwesan lahir batin untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di suatu waktu dan tempat tertentu, mendudukkan diri dengan tepat sasaran, tahu dengan siapa berhadapan dan bisa membawa diri dengan baik, tahu suasana dll. Dengan begitu akan tercipta hubungan harmonis dan terhindar dari konflik yang tidak perlu akibat salah membawa diri.


3. Manjing ajur ajèr
Manjing : masuk
Ajur : melebur
Ajèr : mencair
Artinya dalam pergaulan, komunitas atau lingkungan kerja& lingkungan masyarakat seseorang harus bisa masuk, ikut melebur dan mencair (bermasyarakat), menyatu dengan lingkungan, beradaptasi dan akrab dengan orang orang disekitarnya.

B. Prinsip Rukun & hormat
1.  Rukun agawe santosa crah agawe bubrah
Artinya bahwa kerukunan membuat hubungan menjadi kuat dan sentosa sementara pertengkaran dan konflik membuat hubungan memburuk dan kondisi tidak kondusif. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.

2.  Ajining awak saka tumindak, ajining dhiri saka lathi
Artinya Seseorang akan dihormati / dinilai berdasarkan kelakuan dan ucapannya. Rasa hormat pada seseorang akan muncul karena perilaku yang benar serta tidak menyimpang sesuai nilai-niai moral yang berlaku. Rasa hormat akan muncul pula karena ucapan yang  jujur, baik serta benar.
3. Amemangun karyenak tyasing sesama
(Dari serat wedhatama karangan Mangkunegara IV)  yang artinya selalu berusaha untuk baik dengan oranglain, menyenangkan hati sesama dalam arti tidak menyebabkan permusuhan, pertengkaran, tidak menyakiti, menolong dengan tanpa pamrih. Konsep agama Islam menyebutnya muamalah ajaran kebaikan untuk memanusiakan manusia.


4. Sak madya
Madya berarti tengah atau bisa dimaknai "sedang sedang saja".  Sakmadya artinya dalam hidup jangan suka bertindak atau bersikap berlebihan melebihi proporsi yg semestinya. Hidup sewajarnya saja, tidak  melakukan hal hal yang sekiranya malah kelewat batas dan justru membuat oranglain tidak nyaman bahkan benci dan terganggu. Demikian pula ajaran Islam mengajarkan kita untuk selalu merasa cukup dan bersyukur.


Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)


Konsep sakmadya akan menghindarkan kita dari sifat iri hati, dengki, 'ngaya' ngoyo (ambisius), suka memaksa walau situasi tak memungkinkan atau sebenarnya tidak sanggup. Dan 'ngayawara' (melenceng jauh dari tujuan, malah kemana mana tidak jelas arahnya, jauh dari substansi)


5. Kebat kliwat gancang pincang
Kêbat : cepat
Kliwat : terlampau, terlewati
Gancang : cepat
Pincang : berjalan dengan pincang
Artinya :
(a) Karena melakukan sesuatu terlalu jauh,  terlalu berlebihan maka justru melenceng dari target/tujuan sebenarnya. Kebat kliwat gancang pincang melambangkan konsekuensi dari perbuatan yang 'terlalu' hingga berakibat buruk.

(b). Ungkapan tersebut juga dapat dimaknai bahwa sikap tergesa gesa (kêsusu) dan kemrungsung tanpa analisis dan pertimbangan matang justru membuat celaka, rugi dan tidak beruntung.
6. Bênêr ning ora pênêr
Artinya : benar namun tidak tepat.
Konsep tepa salira juga menuntut kepekaan pikiran dan rasa sehingga dalam bersikap tidak saja harus benar namun juga tepat (bijaksana dan secukupnya). Benar dan lurus sesuai nilai-nilai moral yang luhur tidak menyimpang dari aturan.


Toleransi dalam Falsafah Hidup Orang Jawa
Toleransi dalam Falsafah Hidup Orang Jawa

Sikap toleransi dalam diri seseorang akan menimbulkan kasih sayang dalam dirinya sehingga rasa persudaraan terhadap sesama anak bangsa akan semakin besar. Dengan adanya rasa persaudaraan yang tinggi maka masyarakat secara umum akan terhindar dari perpecahan, meningkatkan rasa persaudaraan, nasionalisme dan patriotisme. 


Wazler (1987) berpendapat toleransi adalah sikap yang harus ada di dalam kehidupan bermasyarakat. Ini artinya sikap toleransi adalah sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Toleransi juga sangat diperlukan ketika dilakukan musyawarah untuk mencapai mufakat. Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat orang lain akan membuat suatu masyarakat terhindar dari permusuhan dan pertikaian. 


Demikianlah moyang orang Jawa semenjak dahulu telah mengajarkan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai yang mengajarkan tentang kebijaksanaan dan moralitas agar tidak menyimpang dari aturan. Cukup sekian tulisan artikel yang dapat kami sampaikan. Kurang lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya, semoga bermanfaat.



Sumber Pustaka 

Dimont, M.I.. 1980. The Jews in America: The roots, history, and destiny of American Jews
Kahaning (Line)
KGPAA Mangkunegara IV. Serat Wedhatama 
Poerwadarminta, W.J.S.. 1930. Bausastra Jawa
Walzer, M. 1987. Interpretation and Social Criticism

Lebih baru Lebih lama