Langit Menaungi Ketelanjangan, Sebuah Puisi Refleksi Kehidupan

Langit Menaungi Ketelanjangan


Oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Diatas Genteng Aku Kesurupan, 25 September 2017)

Apakah emosi?
Perasaan-perasaan kosong tanpa isi?
Bagi para pengelana menyiratkan makna tersembunyi?
Hiruk pikuk nyanyian kemunafikan menyegarkan kembali setiap ingatan
Menggiring dan menyudutkan

"Aku" bukan lah lagi kesatuan yang seutuhnya,
Telah terikat oleh rantai-rantai yang bahkan aku sendiri tidak menginginkan
Saat "aku"  dan ke -aku-anku dikeluarkan dari hati itulah pengorbanan yang utama
Aku dan ke aku-anku telah berusaha mati sejak lama
"Aku" informasi yang terserap akal dan panca indera, sedangkan aku intiasari diluar itu
Masa lalu merupakan bayangan
Masa depan adalah ilusi dan engkau adalah saat ini,

Langit menjadi atap yang kokoh menaungi ketelanjangan
Manifestasi dari sebuah ketiadaan
Oase jiwa yang sejuk karena mabuk asmara
Jiwaku adalah burung dan tubuhku ini penjaranya,
Di dalamnya rantai rantai besi mengikatku,
Kini aku telah bebas untuk terbang

Baca Juga

Puisi Pendek: Titik Temu

Puisi Cinta: Pecinta Yang Hilang Cintanya

Puisi Ketuhanan: Pendakian ke Alam Imajinal

Puisi Perjalanan: Elysia Seorang Avonturir

Puisi Cinta Romantis: Untukmu Kekasih 

Puisi Perjalanan: Segelas Tuak di Atas Gunung

Narasi Sajak Kekecewaan: Bunga Itu Suatu Saat Akan Layu dan Mati