Perjalanan Sunyi, Sebuah Narasi Menuju Kekosongan

Perjalanan Sunyi


Oleh
FR Wirasandjaya
(Gunung Sunyi, 14 Januari 2019)

Akhir-akhir ini suka menyendiri. Bosan menyaksikan banyaknya keangkuhan dan kesombongan. Merasa paling benar serta menang sendiri. Sekedar menenangkan diri berjalan-jalan melintasi bukit menuju ke arah gunung. Tempat sepi bersemayamnya para dewa, mengunjungi makam orang-orang suci keturunan raja-raja. Auranya sakral hawa nya sunyi tempat bersarangnya ketenangan dan kedamaian. Menenangkan hati dan mendamaikan pikiran melepas lelah dari keramaian.

Mendung telah datang kembali, gerimis dan hujan silih berganti. Hingga tiba pada sebuah gerbang padepokan. Aksara Jawa kuno terpampang besar di mulut gapura berwarna hitam pertanda lokasi ini adalah suci. Gapura besar beraksara Jawa berukir ular naga bermahkota melingkar sakti. Bebatuan gunung berserakan di kanan-kiri. Ratusan anak tangga menuntun ke arah puncak gunung.

Memasuki gerbang, ribuan anak tangga tersusun rapi. Perlahan langkah pertama menjejejak menyusuri jalanan setapak. Kanan kiri pepohonan rimbun terselip bebatuan besar. Pemandangan desa-desa mulai terlihat di kejauhan, indah dan damai. Meskipun sedikit awan dan kabut kadang menyelimuti. Menoleh kebelakang tak terasa langkah telah menjauh meninggalkan anak tangga pertama. Terlihat jalanan setapak meliuk-liuk telah terlewati.

Sedikit lagi anak tangga akan berakhir. Diujung anak tangga terlihat konpleks bangunan bergaya joglo Jawa terhampar dihadapnya rerumputan dan bebatuan hitam pegunungan. Di sebelahnya terdapat gazebo tempat duduk bergaya Jawa pula. Pepohonan besar hutan mengapitnya di kanan-kiri depan dan belakang bangunan. Kesan mistis dan angker terasa ketika langkah mulai mendekat ke kompleks bangunan makam tersebut. Aroma kembang serta dupa wewangian mulai menusuk hidung.

Di bawah pohon asem besar berusia ratusan tahun depan makam. Di sela-sela kokohnya akar yang menghujam tanah terlihat kepulan asap dari dupa-dupa yang tertancap. Disekitarnya juga terdapat taburan bunga-bunga yang telah layu dan hampir kering. Terlihat dari bekasnya kemungkinan baru saja ada orang yang  berdoa atau sekedar menancapkan dupa sesuai kepercayaan masing-masing.

Di bangunan gazebo terlihat seorang bapak-bapak usia paruh baya sedang bersantai tiduran. Beliau seketika terbangun ketika mendengar jejak langkah kami berdua, ketika mendekati kompleks makam. Seketika senyum bapak-bapak itu menyeruak dari wajahnya yang tua menyambut kedatangan kami. Kemudian bertegur sapa dan berbincang sebentar lantas menyilakan untuk masuk. Ternyata orang tua tersebut adalah juru kunci kompleks makam ini.

Karena sudah permisi lantas aku pun melepas semua alas kaki. Melepas jaket kemudian bersimpuh masuk ke pelataran mendekat makam. Kemudian bersila dan mengheningkan cipta berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Suasana sangat tenang dan sunyi, yang terdengar hanya bebunyian alam yang menyatu bersama hembusan angin gunung. Beberapa waktu kemudian meneruskan langkah menemui juru kunci dan berdialog di gazebo sebelah makam. Kami banyak bercakap-cakap tentang sejarah lokasi ini.

Ternyata diatas areal kompleks sekitar makam, masih terdapat jalan setapak tanah liat yang menuju area komplek percandian di puncak gunung. Percandian Hindu jaman Majapahit itu kurang lebih berjarak 60 menit jalan kaki dari area kompleks makam. Hari sudah hampir gelap untuk melanjutkan langkah. Akhirnya terpaksa bertahan di area makam dan melanjutkan dialog dengan juru kunci makam. Dialog banyak membahas unsur kesejarahan dibumbui cerita rakyat dari unsur mistis hingga kebatinan.

Pelajaran akan makna hidup, tentang keyakinan, kesejatian dan ke Tuhanan. Prinsip-prinsip ajaran hidup tentang keteguhan hati dan pikiran. Tanpa sadar berbatang-batang puntung rokok telah banyak berserakan. Angin malam mulai turun dan menusuk tulang. Dedaunan pohon bergesekan bersama bunyi-bunyian binatang hutan. Suasana makin sunyi, menenangkan dan sakral. Tak banyak orang yang datang ketempat ini pada senja saat itu. Hari telah gelap perbincangan akhirnya berakhir seiring dengan gelap yang mulai turun. Kami pun mengucapkan salam berpisah. Hisapan rokok terakhir menandai suatu salam kepulangan kami, untuk kemudian suatu saat kembali lagi.
Lebih baru Lebih lama