Fenomena Social Climber atau Panjat Sosial (Pansos) di Masyarakat

Situ Doyan Pamer di Medsos?


oleh
Fajar Rafiki Wirasandjaya
 (Mentari Bersinar, 03 Juli 2018)

Angkara gung
Neng angga-anggung gumulung
Gogolonganira
Tri loka lekere kongsi
Yen den umbar ambabar dadi rubeda

Sebuah kutipan pupuh Sinom dari Serat Wedhatama kalau diterjemahakan kurang lebih berarti, sebuah keserakahan itu sifatnya akan merasa selalu kurang, sekali terlibat akan terus membesar sampai sampai menutup semua hal. Pikiran, perasaan dan harapan yang tertutupi dengan keserakahan, jika diterus-teruskan akan menyebabkan permasalahan yang besar.


Kutipan tersebut sedikit banyak akan memiliki korelasi dengan topik yang akan kita bahas kali ini, terutama dengan kehidupan di jaman sekarang. Di era digital dengan perkembangan teknologi yang pesat memungkinkan seseorang untuk melakukan segala sesuatu hingga di luar dugaan. Fenomena yang saat ini tengah mewabah di kalangan masyarakat adalah penyakit sosiologis dan psikilogis, yaitu Social Climber atau Panjat Sosial.

Apa itu Social Climber atau Panjat Sosial?

Social Climber adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang mencari pengakuan sosial lebih tinggi. Lengkapnya, social climber merupakan orang-orang yang mencari pengakuan sosial lebih tinggi dari status sosial yang sebenarnya, dengan segala upayanya agar selalu terlihat serba wah. Istilah ini tercipta karena gaya hidup yang semakin beragam saat ini.
Sebutan untuk social climber muncul karena adanya pribadi yang secara langsung atau tidak langsung mengungkapkan perilaku mirip kaum milioner/sosialita secara dipaksakan. Hal ini sering menimbulkan suatu persepsi yang buruk, karena sebenarnya mereka ini bukanlah kaum sosialita yang berkedudukan dengan kepemilikan materi yang berlimpah.

Pada dasarnya social climber menunjukkan perilaku seseorang yang minder dan insecure, ia akan melakukan apapun untuk meningkatkan status sosialnya. Caranya dengan melakukan segala hal agar ia mendapat pengakuan, gengsi dan status sosial lebih tinggi dari status yang sebenarnya. Jika kamu sering bermedia sosial (medsos), pasti sering bermunculan rentetan aktivitas dari para social climber. Mereka sering mengunggah foto barang-barang mewah, cengar cengir ala borjuis memamerkan aktivitas-aktivitas ekslusif untuk terlihat wah, demi mendapatkan like dan comment, tentunya demi gengsi dan pengakuan sosial.


Mereka terhipnotis, hidup dalam hiper-realitas daripada realitas. Kehidupan hiper-realitas yang hanya mengacu pada apa yang ideal, bukan real. Menurut psikolog Roslina Verauli, M.Psi., pada hakikatnya setiap manusia itu menghayati kehidupan sosialnya, namun ada beberapa orang yang menganggap bahwa kehidupan sosialnya sebagai sebuah kebanggaan untuk dirinya.

Para social climber umumnya membutuhkan perhatian, akibat sebagian jiwanya kosong, insecure, minder dan butuh 'pemenuhan', akan tetapi salah satu cara pemenuhannya adalah dengan mencari perhatian dalam bentuk memamerkan barang-barang mewah, pamer aktivitas-aktivitas eksklusif di media sosial, upload sana upload sini, demi apa? Tentu saja demi gengsi, like dan komen. 


Namun ada kalanya, hal ini juga dilakukan seseorang untuk mencapai kepuasan dalam hidupnya karena kecewa atas apa yang diraih atau dimilikinya selama ini. Itu merupakan kompensasi dari dirinya yang inferior terhadap lingkungannya atau dia punya value atau nilai hidup tentang materialisme, sehingga dia menggabungkan materi dan social lifenya. Padahal seharusnya perasaan bangga akan diri sendiri baiknya bukan karena dirinya menempati tingkat kehidupan atau status sosial yang lebih tinggi tapi didapat dari prestasi atau karier yang diraih.

Contoh kasus lain misalnya mudik, mudik bisa dijadikan ajang pamer oleh para 'social climber', karena ketika berada di kampung halaman, kebanyakan orang tidak mengetahui keadaan dan status sosial seseorang yang sebenarnya. Banyak pemudik pulang dengan terbebani tuntutan harus 'lebih sukses' dari sanak keluarga di kampung halaman. 


Di samping itu, orang yang memusatkan kehidupannya pada materialisme akan merasa berhasil bila materi yang ia dapatkan sesuai dengan apa yang diinginkannya dan mendapatkan pengakuan oleh tingkat sosial yang ditempatinya. Maka tidak heran, orang seperti ini gaya hidupnya cenderung glamour dan selalu ingin terlihat mewah. 

Tetaplah sederhana tapi aset dimana-mana, jangan memaksakan diri hanya demi gengsi, tetaplah membumi, sederhana belum tentu miskin, terlihat kaya belum tentu kaya. Hidup sederhana bukan berarti hidup miskin. Karena banyak orang sederhana yang tidak miskin, dan orang miskin yang tidak sederhana. Kemewahan memberikan kenyamanan sesaat, kesederhanaan memberikan kenyamanan yang abadi. Pada Akhirnya semua membutuhkan kesederhanaan agar ia menjadi lebih baik. Bergayalah sesuai isi deompetmu, begitu kata Bob Sadiono. Sekian semoga ulasan yang sederhana ini dapat bermanfaat.



Lebih baru Lebih lama