Islam Sontoloyo Era Masa Kini

Islam Sontoloyo Era Masa Kini


oleh
Fajar Rafiki W.
(Malang, 27 Mei 2017)

Seperti biasa layaknya malam-malam sebelumnya, udara mulai dingin. Angin sepoi menggoyang ranting-ranting tua, asap tembaku Kudus berhembus, dari mulut-mulut yang komat kamit membaca situasi. Secangkir kopi singo (siji kanggo wong songo) perlahan mulai dingin. Tanpa sengaja saya membaca tulisan di time line dan tergerak untuk beropini. Maka saya putusken untuk segera, secepat mungkin ngopi (ngolah pikir) bersama kawan kawan (Fordi Mapelaar). Jangan salah Fordi Mapelaar yang dimaksud disini adalah (Forum Diskusi Mahasiswa Penari Ular) di kantin sejuta umat CL UB.


Miris memang melihat kondisi kekinian masyarakat saat ini yang terjebak fanatisme sempit dan onani ego. Dibumbui isu isu SARA digoreng dan ditunggangi kepentingan politisi busuk oportunis. Pada akhirnya menghasilkan suatu hobby-hobby yang ekstrim. Hobby teriak bunuh, hobby teriak tafir, hobby teriak bakar dan teriakan-teriakan umpatan penuh kebencian lainnya. Saling mencaci merasa paling superior, saling beradu kuat, saling merasa paling benar, saling beradu pengaruh. Sebaliknya juga terdengar rintihan-rintihan diluar sana. Mempertanyakan mengeluhkan dimana rasa persaudaraan kita? Dimana rasa persatuan kita? Dimana rasa kebangsaan kita?

Pelan - pelan membikin saya teringat kalimat bijak pujangga Sufi Mbah Jalaludin Ar-Rumi, yang sempat berkata "Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada Suatu Ruang Murni tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah, keluar, dari batas agama, dari batas kehidupan, dari batas pikiran."


Jika ada orang yang mengatakan saat kita pertama kali lahir di dunia tidak bisa memilih mau jadi seorang Kristen, seorang Islam, seorang Hindu, Budha, Konghucu dll dalam batiniah terdalam saya sebenarnya sepakat. Terlepas fitrah apa sebenarnya sebelum manusia di lahirkan. Kalo toh misalnya boleh memilih saya lebih memilih menjadi anak Raja Inggris, anak Raja Swedia atau bahkan anak Raja Salman. Tapi hal tersebut bukan lah esensi nya.

Tuhan berfirman dalam (QS Ar-Rum: 30) “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
Ulama menafsirkan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keaadaan suci bersih sesuai fitrahnya dalam agama yang lurus. Tapi lingkunganlah yang membentuk mereka.
Diriwayatkan juga dalam sebuah hadist shahih yang mengatakan, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR Bukhari 1296). Telah ditakdirkan Tuhan bahwa kita dilahirkan sebagai seorang manusia-manusia Indonesia yang beragama Islam. Sepatutnya menjadi seorang Muslim yang membawa nilai nilai ke Islaman yang mendamaikan. Islam yang mensinergikan nilai-nilai universal bersifat teologis dari Tuhan yang ilahiah dengan kultur budaya tradisi yang bersifat kreativitas manusia atau insaniah sepanjang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Al Hadist.


Kita ini manusia yang lahir, dan menggantungkan hidup di bumi Indonesia. Maka sepatutnya menyadari bahwa hidup, makan, minum, bernafas bergantung dari Bumi Pertiwi Indonesia sebagai simbol welas asih yang Sejati dari Tuhan Allah SWT yang Maha Kuasa. Harus sepenuhnya menyadari norma norma dan etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sadar hidup berdampingan bertoleransi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Baik yang selaku mayoritas maupun minoritas.


Tuhan hanya membentuk suatu hal, kemudian manusia yang menentukan hal tersebut adalah baik ataupun buruk. Tuhan hanya membentuk suatu warna, abu abu, kemudian manusia yang menentukan, apakah itu hitam, atau putih. Tuhan menciptakan manusialah yang memaknainya. Sudah bukan pada tempatnya lagi kita memperdebatkan superioritas, memperdebatkan kamu ini kafir atau tidak, kamu ini masuk neraka atau surga. Hal tersebut sepenuhnya hak prerogatif Tuhan.

Bagaimana bangsa mau maju ketika masih bertikai soal dasar negara, masih mengkafir kafirkan, ketika bangsa lain sibuk membicarakan nuklir, kita masih bertele tele membicarakan hal hal yang tidak substansial. Bukan tidak mungkin kita yang tidak siap akan tergilas roda revolusi zaman. Rangkul semua, bersatu berjuang sesuai bidang masing masing.
Mari tunjukkan bahwa Islam ini beradab, bermartabat, disiplin, dan bersih. Tunjukan Islam yang indah, Islam yang damai. Islam yang tidak menghapus budaya, Islam yang tidak memusuhi tradisi dan kearifan. Islam yang tidak menafikan atau menghilangkan kultur sepanjang tidak bertentangan dengan tali agama Allah SWT (Al Quran dan Al Hadist). Islam yang menentramkan dan menyejukan.
Semoga bermanfaat.




Source:

Soekarno. 1934. Islam Sontoloyo. Bandung: Sega Arsy
Shahih Bukhari on line
Merdeka.com